Kututup pintu mini market dengan hati-hati, lalu kuturuni pelan-pelan tangga yang licin karena masih basah selepas hujan yang turun lebat di subuh tadi.
Di tangan kananku tidak ada belanjaan satu pun. Sementara itu, di tangan kiriku hanya tergenggam struk dari ATM yang terletak di dalam mini market tadi.
Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati menuju motor yang terparkir di samping mini market. Beberapa genangan air yang tersebar di parkiran mini market membuatku agak sulit melangkah lurus.
Kulihat suamiku siap menungguku di atas motor. Begitu melihatku mendekat, ia sigap menyalakan mesin motor dan mengambil helmku yang tergantung di spion.
“Yah,” kupanggil suamiku sembari kusorongkan struk yang kubawa. Sebagai gantinya, kuraih helm dari tangannya dan kupakaikan helm berwarna biru terang bergaris hitam itu di kepala.
Kulirik suamiku.
Wajahnya yang tadinya penuh pengharapan langsung berubah sendu begitu mengetahui saldo yang terpampang jelas di struk yang barusan ia terima: Rp.524.00.
Iya, struknya tidak salah, dan tintanya juga tidak pudar. Angka nolnya memang hanya dua, tidak menggelinding. Angka nol yang berjumlah 2 digit ini menandakan pecahan sen.
Saldoku memang hanya lima ratus dua puluh empat rupiah. Tidak kurang dan tidak lebih.
“Gimana?” Desakku.
Suamiku mendesah, tanda ia gundah. Lalu, dimatikannya mesin motor yang sudah ia nyalakan.
Ia hanya menatapku.
“Anak-anak buka puasa pakai apa ya hari ini?” Ucapnya lirih.
Aku tertunduk. Air mataku menggayut di pelupuk. Tak sanggup aku bersuara. Cemas air mata yang masih menggantung itu akan turun dengan derasnya.
Hari ini sudah hari ke-15 Ramadan, tetapi pesanan kue kering ataupun hantaran Lebaran yang biasanya sudah mulai menumpuk belum terkumpul satu pun.
Pesanan ayam goreng dan ayam bakar di bulan Ramadan tahun ini pun lumayan sepi, padahal biasanya ada saja yang memesan sebagai menu berbuka puasa bersama keluarga.
Kantor kecil di dekat rumahku yang seminggu sekali memesan nasi boks untuk lima karyawannya juga menyetop langganannya di bulan puasa ini.
Praktis, pemasukan yang kuterima hanya berasal dari pesanan beberapa langgananku dan cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Tidak usah bertanya apakah uang yang ada cukup untuk membayar tagihan listrik yang bisa mencapai satu jutaan per bulan. Jangankan membayar tagihan listrik, untuk membayar cicilan motor yang ‘cuma’ enam ratus ribuan pun aku belum terbayang dari mana uangnya.
Membayangkan tagihan listrik membuatku bergidik. Aku masih ingat peristiwa bulan lalu saat kami didatangi petugas PLN dengan ancaman diputus aliran listriknya, sementara di dalam rumah anak-anak sedang melakukan ujian daring. Sungguh, aku tidak sanggup bila peristiwa ini harus terulang lagi.
Kugeleng-gelengkan kepalaku, seolah mengibaskan trauma peristiwa bulan lalu.
Kutepuk lembut pundak suamiku, “Pulang dulu aja yah,” kataku. “Siapa tahu masih ada uang di rumah.”
Harapanku timbul kembali seiring laju motor kami menuju rumah.
****
Sampai di rumah, aku segera mengambil beberapa tas yang biasa aku pakai, berharap ada kembalian atau uang yang terselip di antara struk belanja yang lupa kubuang dan masih berada di dalam tas.
Sebenarnya aku agak pesimis karena aku ingat kalau beberapa waktu lalu aku sudah membongkar semua tas di hadapanku ini dan menggunakan uang yang kutemukan untuk membeli seliter beras dan sayuran.
Namun, aku mencoba berpikir positif, siapa tahu kali ini masih ada sedikit uang tersisa.
Dengan penuh semangat kubolak-balik beberapa tas di pangkuanku. Kubuka ritsleting dan segala saku di dalam tas serta kupilah-pilah berbagai struk yang kutemukan di dalamnya.
Kosong. Tak ada uang sama sekali.
Kuambil lagi sebuah tas dari rak. Penuh harap agar setidaknya ada uang lima ribu rupiah supaya kami bisa membeli beberapa butir telur.
Kosong juga.
‘Ya Allah, aku hanya perlu lima ribu, tidak usah banyak-banyak. Kalau menurut Engkau lima ribu masih terlalu banyak, tolong cukupkan aku dengan dua ribu rupiah saja.’
Aku berusaha menawar dan memohon kepada Allah sambil terus mencari di tempat-tempat yang kupikir berpotensi untuk kutemukan sedikit uang.
Suamiku juga tidak kalah sibuknya membuka laci-laci serta mengeluarkan isi di dalamnya
Setelah hampir setengah jam aku dan suamiku mengorek dan membolak-balik berbagai tempat, aku dan suamiku hanya menemukan enam ratus rupiah, yang terdiri dari tiga keping uang dua ratus rupiah.
Doaku rupanya belum dikabulkan oleh Sang Maha Pengasih.
Kami berdua terduduk lesu. Di mana lagi ada sisa uang di rumah ini? Celengan anak-anak pun sudah kosong. Sudah terpakai untuk membayar entah keperluan apa saat itu.
“Bu, gimana kalau ngutang ke warung Mpok Ami?” Suamiku mencoba menawarkan solusi.
“Gak usah banyak-banyak, cukup telur 2 butir. Kan paling sekitar empat ribu,” lanjutnya.
Aku menggeleng lesu.
“Utang yang kemarin aja belum dibayar, masih kurang dua puluh ribuan,” sahutku.
“Gak enak, Yah, Mpok Ami itu biasanya gak mau ngasih utangan, cuma ke kita aja dia mau ngutangin. Aku gak enak ngutang lagi kalau yang kemarin belum lunas.”
Suamiku mengangguk setuju, sekaligus bingung.
Hendak berbuka dengan apa kedua anak kami sore hari nanti? Belum lagi untuk makan malam, tidak mungkin kalau tidak ada lauk yang tersaji untuk mereka.
Untuk kami, perut kami kosong tidak apa-apa, asalkan anak-anak bisa makan dengan layak. Tidak harus daging atau ayam, tempe dan tahu pun mereka suka.
Namun, jangankan tempe di pasar yang harganya 5.000 per buah, gorengan yang hanya 1.000 sebuah pun saat ini tidak terbeli.
Memang, kekurangan uang untuk makan kami sekeluarga ini bukan pertama kalinya bagiku dan suamiku. Akan tetapi, seberapa pun sulitnya kami, sebelumnya selalu ada makanan yang terhidang meskipun sederhana.
Pedih rasanya membayangkan bahwa hari ini bisa jadi anak-anak hanya makan dengan kerupuk karena memang yang tersedia di rumah hanyalah kerupuk.
Sembari mengembalikan tas-tas dan laci-laci yang tadi kami bongkar, aku berusaha menghibur suamiku. Tak tega rasanya melihat wajahnya muram begini.
“Sudah, nanti aja kita pikirin lagi,” kataku.
“Insyaallah ada jalan,” tambahku sambil berusaha tersenyum.
“Nanti kucoba tawarkan ayam goreng ke Mbak Yuli, Bu Titin, dan Mbak Meta deh Yah, siapa tahu ada yang mau pesan untuk berbuka hari ini atau besok,” ujarku mencoba untuk optimis.
Aku lalu beranjak ke dapur. Menyiapkan pesanan seporsi ayam goreng dari seorang teman yang tinggal di daerah Tebet. Sayangnya, pesanan temanku ini sudah dibayar di muka, dan uangnya pun sudah menguap terpakai untuk kebutuhan mendesak lainnya.
Jadi, bahkan setelah pesanan diantar, tidak akan ada pemasukan yang kuterima.
Sambil berkutat di dapur aku memutar otak. Masakan apa yang kira-kira akan kuhidangkan untuk kedua buah hatiku? Sebenarnya, di dalam hati aku masih tidak tahu harus menyiapkan makanan apa untuk anak-anak. Apa yang bisa kubuat dengan 600 rupiah?
Sempat aku terpikir untuk memasak nasi goreng polos. Hanya nasi dan bumbu-bumbu. Biarpun tidak ada isinya, paling tidak masih lebih ada rasanya, dibandingkan hanya nasi putih dan kerupuk.
Meskipun masih gamang, sejauh ini baru nasi goreng saja ide yang terpikirkan olehku. Belum ada lagi ide keluar dari kepalaku yang rasanya beku ini.
Setelah pesanan selesai disiapkan, aku dan suamiku segera berangkat. Mumpung masih belum jam 5 sore, jadi lalu-lintas belum terlalu ramai.
Sambil duduk di atas motor kucek telepon genggamku. Siapa tahu sudah ada respon dari salah satu pelangganku. Akan tetapi, tak ada satu pun pesan yang masuk.
‘Sabar,’ pikirku menenangkan diri. ‘Mungkin mereka masih sibuk menyiapkan takjil.’
Sepanjang perjalanan kami dari Jalan Pasar Minggu menuju Tebet, aku terus terngiang-ngiang saldo tabunganku.
524…. 524…. 524….
Tak pernah sebelumnya saldo tabunganku seminim itu.
Lima ratus dua puluh empat rupiah.
Semakin lama, semakin sedih hatiku mengingat saldo tabunganku yang nyaris kosong itu.
Ting!
Kuintip telepon genggamku. Ada pesan dari Mbak Meta. Dengan harap-harap cemas kubuka pesan yang masuk.
Mbak, maaf, aku lagi mudik sampai minggu depan. Insyaallah kalau sudah kembali ke Jakarta aku pesan ya.
Hatiku kembali ciut. Duh, sudah satu dari tiga orang yang menjawab, tetapi bukan jawaban yang menggembirakan.
Ting! Ting!
Kali ini dua pesan masuk berturut-turut ke teleponku. Dari Mbak Yuli dan Bu Titin.
Aku pass dulu ya mbak, masih banyak makanan di rumah. Maklum mbak, bulan puasa, jadi waktu makannya terbatas. Next time deh mbak.
Mbak Yuli sudah memberikan respon negatif. Aku bertambah lesu. Harapanku satu-satunya hanyalah Bu Titin.
Bismillah, kubuka pesanku.
Mau mbak….
Yes! Akhirnya ada yang mau pesan.
…tapi 3 hari lagi ya mbak. Aku lagi di luar kota nih. Baru kembali Rabu depan ini.
Huft. Aku menghela napas. Ternyata aku gembira terlalu dini. Bu Titin baru akan memesan 3 hari lagi.
Tabunganku hari ini masih belum bergerak. Masih 524 rupiah.
Aku tertunduk lesu.
Tiba-tiba badanku serasa ditarik ke belakang. Kueratkan peganganku di pinggang suamiku. Rupanya ia mengejar lampu hijau, jadi agak menambah kecepatan di perempatan Pancoran.
Tidak lama setelah berbelok dari Pancoran ke arah Gelael di Jalan MT Haryono, terlihat anak-anak bergerombol di dekat gedung Samsat. Aku tidak berpikir panjang. Kupikir hanya anak-anak yang akan pulang selepas ibadah di gereja karena setahuku di situ ada gereja Advent.
Jalanan yang biasanya lengang kini menjadi lumayan ramai karena adanya anak-anak yang bergerombol di depan gereja. Dibanding mengambil sisi kanan jalan, suamiku memilih untuk tetap berada di jalur lambat dan mengurangi laju motor yang dikendarainya.
Tiba-tiba, seorang anak menyorongkan bungkusan plastik ke arahku. Tak disangka, ternyata anak-anak tadi sedang membagikan makanan untuk berbuka puasa.
Saat aku masih belum sepenuhnya menyadari yang terjadi, ada seorang anak lainnya yang mendekat dan mengulurkan sebuah bungkusan ke arah suamiku.
Total, kami menerima dua bungkusan. Aku dan suamiku berpandang-pandangan.
“Nasi boks ya kayaknya?” tanya suamiku dengan nada tidak yakin, tetapi terdengar optimis.
Aku mengangguk ragu. Separuh senang, tapi juga separuh khawatir kalau-kalau harapan kami ternyata tidak sesuai kenyataan.
Dengan tidak sabar kubuka plastik pembungkusnya.
Bau harum khas nasi boks langsung menyeruak.
“Iya, kelihatannya,” kataku sambil berusaha mengintip ke dalam kotak yang baru sedikit terbuka. Tak terkira girangnya hatiku mengetahui bahwa ada secercah harapan di depan mataku.
Suamiku segera menepikan motornya. Kami lalu bergegas membuka bungkusan.
Sungguh…. Allah Mahabaik. Ternyata bungkusan yang kami terima betul-betul berisi nasi boks.
“Alhamdulillah,” seru suamiku. Matanya berkaca-kaca. Tak terkatakan gembiranya hati kami menerima nasi boks barusan.
Kubalik-balik lauk di dalam boks. Ada sebungkus nasi, sepotong ayam, segelintir sayur, sambal, dan sebuah pisang. Tidak lupa, segelas air mineral melengkapi tiap boks yang kami terima.
Ya Allah…. Ternyata apa yang ada di tanganku kini jauh melebihi permohonanku tadi.
Doaku ternyata bukan tak diijabah oleh-Nya, tetapi digantikan-Nya dengan yang lebih baik.
Sebelumnya, kami tidak pernah melihat anak-anak ini membagikan makanan, padahal ini merupakan rute yang cukup sering kami lewati. Mungkin karena sedang bulan Ramadan, mereka mengadakan semacam kegiatan sosial dengan berbagi makanan menjelang waktu berbuka puasa.
Entah bagaimana, saat itu, waktu antara kegiatan mereka berbagi makanan dengan saatnya kami melewati rute itu bisa sedemikian sinkronnya.
Sungguh, pintu dan jalan rezeki memang rahasia Allah. Siapa yang menyangka bahwa makanan kami hari ini akan tercukupi dari kegiatan berbagi yang diadakan umat lain?
Di saat kami kesulitan dan nyaris putus asa, ada tangan Allah yang bekerja melalui jalan yang tidak disangka-sangka.
Dan, meskipun saldo tabunganku hari ini masih tetap 524 rupiah, kebutuhan makan kami sekeluarga dapat tercukupi, malah dengan lauk pauk yang lengkap.
Alhamdulillah.